Di Desa Ini, Warganya Dilarang Menikah Jika Belum Lulus SMA

Di Desa Ini, Warganya Dilarang Menikah Jika Belum Lulus SMA

Minggu, 18 September 2016 03:58 WIB | 13.080 Views

Anda baru lulus SMA? jangan harap anda bisa langsung menikah bila anda tinggal di salah satu desa di Probolinggo ini.  Katakanlah Anda sudah cukup umur dan siap untuk menikahi pasangan Anda. Restu dari orang tua sudah didapat, dan uang hasil bekerja sudah cukup untuk mengadakan pesta kecil-kecilan.

Namun, sebaik apa pun Anda sudah mempersiapkannya, jika Anda tinggal di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, pemerintahan desa bisa saja menolak mentah-mentah rencana pernikahan Anda jika satu syarat tidak bisa dipenuhi: selembar ijazah SMA.

Aturan untuk lulus SMA sebelum menikah diterapkan oleh Supoyo di Desa Ngadisari pada tahun 2011 lalu ketika masih menjabat sebagai kepala desa. Hal ini dilakukannya untuk demi meningkatkan kualitas warga.

Supoyo menyadari bahwa desa yang terletak di kompleks Gunung Bromo, salah satu destinasi wisata populer di Indonesia, ini menyimpan potensi wisata dan pertanian yang besar yang harus dipertahankan hingga masa depan. Oleh karena itu, Supoyo melihat, pendidikan adalah satu-satunya cara membuat warga lebih kompetitif di tengah cepatnya perubahan jaman.


"Mereka tidak akan berpikir untuk melanjutkan sekolah kalau mereka menikah lebih dulu," kata Supoyo

"(Untuk menjadi) perangkat desa saja misalnya, syarat pendidikannya lulus SMA. Apa (bisa) masuk mereka yang hanya lulus SMP? Ketika tidak masuk (kualifikasi), kasihan mereka yang sebetulnya punya potensi," tambahnya kemudian.

Berdasarkan undang-undang, pemerintah masih mensyaratkan wajib belajar sembilan tahun secara nasional. Beberapa upaya peningkatan memang sudah dilakukan, termasuk peluncuran Pendidikan Menengah Universal (PMU) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2012 lalu.

Dalam skema yang dianggap sebagai rintisan dari wacana wajib belajar 12 tahun ini, sekolah menengah atas mulai mendapat dana bantuan secara nasional.

Di beberapa provinsi, seperti DKI Jakarta dan Sumatera Selatan, misalnya, wajib belajar 12 tahun sudah dicanangkan secara lokal. Namun, upaya ini dianggap belum maksimal menurut sejumlah pengamat karena angka partisipasi kasar sekolah menengah pada 2015-2016 baru sekitar 75,46 persen.

Tidak nikah muda

Supoyo, mantan Kepala Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, yang menerapkan aturan kepada warganya tak boleh menikah sebelum lulus SMA.

Menurut Supoyo, bukanlah kemiskinan yang dulu membuat banyak anak-anak di Desa Ngadisari putus sekolah. Penduduk desa, lanjutnya, sebetulnya punya kemampuan ekonomi yang cukup karena kebanyakan dari mereka memiliki ladang perkebunan, tetapi sayangnya banyak warga berpikir bahwa sekolah tidak penting.


"Ini tentang mengubah pemikiran," katanya.

"Sangat disayangkan kalau anaknya malas-malasan sekolah karena ada anggapan untuk apa sekolah kalau ujung-ujungnya pulang (bertani)?" tambahnya kemudian.

Untungnya, anggapan itu pelan-pelan berubah. Anak-anak kembali ke sekolah dan orang-orang yang lebih tua diikutkan program kejar paket A, B, dan C (SD hingga SMA). Dengan menjadikan pendidikan sebagai syarat menikah, aturan ini juga mengajak anak-anak muda untuk tidak menikah di usia yang terlalu dini.

"Akan lebih baik nikah saat dewasa, kalau yang muda itu kan bisanya hanya nangis ketika anaknya nangis ya nangis semua," kata Supoyo.

Salah seorang penduduk desa, Yuharliana Eka Swastikawati yang berusia 22 tahun setuju dengan pendapat itu. Wati begitu dia kerap disapa sudah berkomitmen dengan kekasihnya, Aji Santo, untuk menikah setelah dia lulus sarjana.

"Setelah lulus SMA, pemikiran saya itu belum matang. Saya berpikir kalau menikah sebelum SMA bagaimana? Pasti masih merepotkan orangtua," katanya.

Aji Santo (25) lulusan SMA yang kini bekerja di ladang dan menjadi pengelana kuda di Gunung Bromo mengatakan pendidikan memang penting.

"Untuk urusan wisata paling tidak supaya saya tidak dibohongi," katanya yang setiap pagi rajin mencari turis untuk menunggani kudanya ke kawah Bromo.

Dia mengatakan, warga memang patuh atas kebijakan yang diberlakukan Supoyo, bahkan setelah dia turun dari jabatan kepala desa. Aturan itu dilanjutkan oleh kepala desa selanjutnya, dan bahkan diikuti oleh desa-desa di sekitarnya.

"Kalau seandainya ada kasus hamil di luar nikah, ada hukuman, yaitu membeli semen, batu, pasir untuk membangun desa," kata Aji.

Walau tinggal di desa yang sama, Aji dan Wati tidak saling mengenal hingga dua tahun lalu ketika mereka tak sengaja berkenalan di Facebook. Setelah bertukar pesan, mereka lantas bertemu di sebuah hajatan desa.

"Pertamanya gugup," kata Aji mengikat momen itu.

"Campur aduk perasaannya," lanjutnya.

Dalam adat Tengger di Desa Ngadisari, tanggal pernikahan diatur oleh tetua adat agar tak berbenturan dengan satu sama lain. Aji yang kemudian yakin dengan pilihannya memberanikan diri melamar.

Supoyo mengatakan, praktik menikah muda di desanya memang terjadi, tetapi tak terlalu banyak.

"Dulu kalau kita biarkan bisa terjadi (tren nikah muda). Umur 15 tahun sudah ada yang menikah. Itu belum sesuai dengan undang-undang perkawinan."

"Kalau kita biarkan itu lulus SMP, kan masih 15 tahun. Makanya (syarat) kita tambah tiga tahun di SLTA agar genap dengan aturan yang ada itu."

Dalam UU No. 1/1974 tentang perkawinan disyaratkan bahwa usia minimum perempuan menikah adalah 16 tahun sementara laki-laki 19 tahun dengan izin orang tua.

Menurut badan PBB, UNICEF, pernikahan dini di Indonesia masih menjadi praktik yang diterima oleh masyarakat dan umumnya terjadi pada usia 16 hingga 17 tahun. Praktik nikah muda tercatat lebih tinggi di pedesaan dibanding di kota karena berkaitan erat dengan rendahnya pendidikan. Dikutip dari BBC Indonesia





Berikan Komentar Via Facebook

Blogs Lainnya